MERILLIN CAHYANDINI
XI IPA 2
RONALDO ROZALINO S.sn
TEATER TRADISIONAL MAK YONG
Mak Yong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.
Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu, mak yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau Indonesia. Di kepulauan Riau, mak yong dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng.[1]
Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.[2]
Sejarah teater mak yong
Istana kerajaan menjadi pelindung seni tari mak yong sejak paruh kedua abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman tanah sawah milik raja untuk dikerjakan.
Kemunduran ekonomi kesultanan akibat kedatangan penjajah Inggris di Kelantan menyebabkan pihak kesultanan tidak bisa lagi menjadi pelindung kelompok pertunjukan mak yong. Akibatnya di awal abad ke-20, tari mak yong mulai berkembang bebas di desa-desa. Pertunjukan Mak yong tanpa patron pihak kerajaan menyebabkan mutu pertunjukan semakin merosot, terutama setelah terjadi bencana banjir besar di Kelantan yang terkenal sebagai Banjir Merah tahun 1926 hingga tahun 1950-an. Selain itu, nilai estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara joget bersama. Penonton naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk mak yong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk berjoget.
Di pihak kelompok mak yong, nilai moral penari juga mulai merosot. Tidak jarang terdengar kisah-kisah sumbang yang terjadi antara kalangan penari dengan penonton selepas pertunjukan. Keluarga penari mak yong juga menjadi berantakan, perceraian menyebabkan anak-anak menjadi terlantar. Penari mak yong malah banyak yang bangga dengan jumlah suami yang dimiliki. Publik mempertanyakan nilai moral di kalangan penari sehingga citra penari mak yong makin merosot. Keadaan ini membuat citra kesenian mak yong semakin hancur.
Di akhir tahun 1960-an, kelompok tari mak yong sudah tidak bisa dijumpai lagi. Orang yang berniat mempelajari tari mak yong juga tidak ada. Kebudayaan barat yang melanda masyarakat Malaysia makin menenggelamkan kesenian mak yong. Kalau ada pun pertunjukan Mak Yong yang diadakan pada peristiwa penting seperti Hari Keputeraan Sultan, pertunjukan hanya dikerumuni orang-orang tua.
Kelompok Seri Temenggung merupakan pelopor tari mak yong generasi ketiga yang berusaha menghidupkan kembali tari dan nyanyian asli seperti pertunjukan mak yong generasi pertama. Kelompok tari Seri Temenggung masih relatif baru dengan guru-guru yang berasal dari generasi pertama penari mak yong. (wikipedia Indonesia)